Kamis, 12 Juni 2008

Menghargai Kehidupan

Berita pembunuhan di televisi benar-benar membuat kita geleng-geleng kepala. Betapa tidak, sebab yang sepele bisa mendorong seseorang membunuh. Bahkan ada seorang ibu yang membunuh anak-anaknya tanpa sebab yang jelas. Sampai ketika ditangkappun, jawabannya juga tidak jelas. Gara-gara uang beberapa ribu rupiah, dua sahabat bisa saling bunuh. Apakah benar ini karena uang beberapa rupiah itu, atau ada sebab lain. Tak jelas.

Berbagai permasalahan hidup banyak mendedah kita. Juga godaan materialisme, membuat kehidupan ini semakin sulit dijalani. Keinginan seakan menjadi kebutuhan. Kebutuhan tersier berubah menjadi kebutuhan primer. Seorang anak SMP tidak mau sekolah gara-gara dikatain HP-nya kuno. Sementara teman-temannya menggenggam HP keluaran terbaru. Orang tua siswa menjemput anaknya dengan mobil mewah, padahal SPP-nya sudah enam bulan nunggak.

Penempatan skala prioritas yang jungkir balik, membuat seseorang tidak bisa menikmati hidup. Merasa serba kekuarangan, sementara nikmat hidup yang di tangan tak pernah disyukuri. Melihat rumput rumah tetangga lebih hijau dan indah daripada rumah sendiri. Istri teman tampak lebih cantik daripada istri di rumah yang belasan tahun setia menunggu dan mengasuh anak-anaknya penuh kasih sayang.

Merasa teman sendiri lebih beruntung daripada diri sendiri, sehinggi iri dan dengki sesak memenuhi dadanya. Kebahagiaan tetangga seakan sengaja dipertontonkan untuk memanas-manasi hatinya. Sehingga seperti kata Imam Ghazali, ”sedih melihat orang senang, dan senang melihat orang sedih.”

Ketika sekelompok orang kafir melecehkan Nabi Muhammad SAW, sekelompok orang Islam tenang-tenang saja. Dengan dalih kemuliaan Islam tak bakalan runtuh oleh olok-olok orang kafir. Jadi Islam tidak perlu dibela. Tapi ketika sekelompok orang Islam berdakwah dan menyinggung perilaku seorang Kyai yang dinilai buruk, maka pengikut Kyai itu marah membalas dendam berlebihan. Seakan saudara sesama muslim itu telah berubah menjadi musuh bebuyutan.

Salah melihat mana musuh mana teman, membuat hati keras seperti batu. Semangat menghabisi musuh –yang sebenarnya adalah saudara seiman- melebihi semangat jihad membela kemuliaan Islam.

Jika terjadi konflik horizontal sesama muslim apakah malaikat bingung mana yang mati syahid mana yang sangit. Mana yang pantas beroleh surga yang dijanjikan, mana yang tidak?

Tidak! Tidak serumit itu, karena Rasulullah pernah bersabda bahwa sesama muslim yang saling bunuh, maka yang membunuh maupun yang terbunuh sama-sama masuk neraka.

Sementara hukumnya sudah ditegaskan oleh Rasulullah, si pembunuh biasanya masih bingung kenapa ia akhirnya jadi pembunuh. Ketika di dalam penjara, sering penyesalanpun timbul. Pengakuan bahwa ia diperkuda hawa nafsupun terungkap. Gelap mata dan kesadaran hilang sering menjadi kambing congek hitam.

Sementara si terbunuh kalau bisa ditanya kemungkinan besar dia mengatakan entahlah kenapa dia bisa sekalap itu. Apa salah saya?

Dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah R.A, dikatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda: ”Demi Allah yang nyawaku dalam kuasa-Nya, kelak akan datang suatu masa dimana seorang pembunuh tidak tahu untuk apa ia membunuh, sedang korban yang tewas tidak tahu pula karena apa ia dibunuh.” (HR Muslim)

Maka tidak ada jalan lain. Mari kita kembali ke jalan Allah, kita jauhkan sifat kecintaan kepada dunia berlebihan yang menjadi akar segala masalah. Cinta dunia membuat kita takut mengahadapi kematian. Cinta dunia mendorong kita melakukan apapun saja demi kenikmatan dunia yang banyak dijajakan di berbagai media. Kecintaan dunia mendoktrin kita, bahwa tanpa menggenggam semua kenikmatan dunia kita berada di jurang kegagalan yang hina dina.

Cinta dunia membuat kita terombang ambing tak menentu. Arah tujuan hidup yang jelas mengharap keridhaan Allah menjadi kabur. Harga kehidupan menjadi murah. Dengan menjual prinsip-prinsip kehidupan, kemewahanpun berpindah tangan.

Keteladanan memegang prinsip kehidupan telah dicontohkan oleh Sayyid Qutb rahimahullah. Ketika tegar berdiri ditiang gantungan, beliau berpesan kepada calon penjagalnya, bahwa demi kalimat laa ilaaha illallah beliau rela mati, sementara sang algojo meremehkan kalimat laa ilaaha illallah demi mendapatkan kehidupannya.

Senada dengan hal di atas seorang ulama Indonesia, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah juga pernah berpesan ”Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”

.......... Subhanallah, dimanapun kita berada.... Oh, mata kita sering menderita myopi –rabun jauh- ketika harus memandang jauh ke akhirat.

Wallahu’alam bisshawab

Choirul Asyhar

Cikarang Baru, 7 Mei 2008