Selasa, 27 Mei 2008

Kebaikan Dunia Akhirat

(Satu dari 2 tulisan)

Setiap hari pasti kita tak pernah lupa berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat kita. Doanya: ”Rabbanaa atinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, waqina ’adzaabannaar”. Insya Allah semua orang Islam hafal do’a ini. Bahkan anak TPA usia pra TK pun.

Kalau ditanya bagaimana wujud kebaikan di dunia dan akhirat itu, pasti setiap orang memiliki jawaban yang bermacam-macam. Biasanya tergantung situasi dan kondisi yang sedang dialaminya saat ini.

Kalau didata jawaban-jawaban itu, maka akan kita dapatkan resumenya sebagai berikut:

Bahagia di dunia

1. Mahabbatullah (Dicintai Allah)

Bentuk kebahagiaan di dunia yang pertama adalah mahabbatullah (dicintai Allah). Bayangkan dicintai keluarga saja kita senangnya bukan main. Memiliki keluarga yang saling mencintai serasa kebahagiaan ada di tangan. Apalagi dicintai tetangga kanan kiri. Ketika kita absen dari sholat berjamaah, ada yang menanyakan keberadaan kita. Ketika kita keluar kota, ada saja tetangga yang kangen. Wah, bahagia rasanya.

Lalu bagaimana jika kita dicintai oleh masyarakat se RT, se RW, sekampung, sedesa, sekecamatan, sekabupaten, sepropinsi, senegara? Ini sangat didambakan para caleg dan cabup, cagub apalagi capres. Karena kecintaan rakyat adalah dukungan pada bilik suara nanti.

Lalu apapula yang terjadi jika kecintaan itu datangnya dari Allah Rab semesta alam? Adakah kita pernah mendambakannya sebagaimana kita mendambakan cinta rakyat bagi calon pimpinannya? Padahal cinta Allah adalah kebahagiaan di dunia yang tak ada tandingannya. Kalau cinta rakyat adalah dukungan bagi pemimpin, maka cinta Allah adalah dukungan yang tak tergoyahkan.

Dengan cinta Allah kepada kita akan menjadi semangat tersendiri untuk kita menempuh segala jalan kebaikan. Atas ruh cinta Allah kita akan menjadi santun kepada sesama mukmin, dan tegas terhadap setiap pengingkaran dan penyimpangan. Tak ada rasa takut berjuang membela kebenaran hakiki. Tak gentar oleh celaan orang-orang yang bisanya cuma mengritik dan mencela.[1]

2. Rahmatullah (Dirahmati Allah)

Harta banyak, jabatan tinggi, dihormati masyarakat, istri cantik, anak-anak yang sehat, ganteng dan cantik, tak terasana nikmatnya jika kehidupan kita tak dilingkupi rahmat Allah. Mendapatkan rahmat Allah adalah dambaan setiap muslim.

Rahmat Allah adalah kasih sayangnya dengan bentuknya yang beraneka ragam. Misalnya kita mendapatkan pertolongan Allah di dunia ini dikarenakan kita sering menolong sesama dari kesulitannya. Allah menutup aib-aib kita karena kita enggan mengumbar aib sesama mukmin.[2]

Sering kita mendapatkan rizki yang tak terduga-duga datangnya ketika dalam kondisi sangat membutuhkannya, sementara kita tak tahu lagi harus berbuat apa. Allah tiba-tiba menurunkan bantuannya, karena kita pernah melakukan pertolongan kepada manusia beberapa waktu yang lalu. Ini adalah rahmat Allah.

Rahmat itu juga turun dalam bentuk ketentraman hati dan doa para malaikat ketika kita duduk dalam majlis ilmu yang dibacakan Al Quran di dalamnya. Oh, siapa yang tidak bahagia menerima rahmat Allah ini. Oh siapa yang tak sudi mengejar-ngejar rahmat Allah ini, sementara setiap saat dia berdoa untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat?

3. Hidayatullah (Hidayah Allah)

Ketika aliran listrik tiba-tiba mati di rumah kita, pasti kita kelabakan mencari sumber cahaya. Sumber cahaya apa saja yang bisa menjadi petunjuk jalan menuju lemari tempat kita menyimpan lilin. Ada yang menyalakan korek api yang tersimpan di saku celana. Ada yang menyalakan senter di handphone. Ada yang berjalan sambil meraba-raba jalan ke arah dapur, menjadikan kulit tangannya yang penuh dengan syaraf perabanya sebagai petunjuk.

Ketika lilin itu berhasil dinyalakan, kebahagiann itu muncul. Cahaya lilin yang kecil menerangi kegelapan yang membutakan. Maka pasti tidak ada seorangpun dimuka bumi ini yang menolak hidayah Allah jika dia mengetahui fungsinya. Hidayah Allah sangat dibutuhkan untuk memahami makna kehidupannya di dunia ini. Tanpa hidayah Allah, kita tak tahu arah. Berjalan melaju kencang dan jauh, tapi ternyata justru lari dari tujuan yang benar. Dengan hidayah Allah kita bisa memanfaatkan usia kita lebih efisien dan efektif menuju kehidupan yang baik dan diridhoi-Nya. Sebagai bekal bagi kehidupan selanjutnya di Akhirat.

Diutusnya Rasulullah SAW adalah dalam rangka menunjukkan jalan-Nya yang lurus dan benar. Jalan menuju kembali kepada-Nya di rumah kehidupan yang lebih baik dan kekal.[3]

4. Al Izzah (Kemuliaan)

Kebahagiaan di dunia juga diwujudkan dalam bentuk kemuliaan di mata manusia dalam koridor keridhaan Allah. Banyak kasus seseorang dipandang mulia ketika berkedudukan tinggi dan menguasai kekayaan materi yang sangat banyak. Masyarakat menilainya sebagai orang yang berhasil. Tetapi ketika terkuak aibnya berupa skandal seks, kehinaannya meminta-minta komisi dan pemalakan liar terhadap bisnis orang lain, kemuliaan itu seketika runtuh dari sekujur tubuhnya. Apalagi ketika KPK menyeretnya dalam sidang-sidang Tipikor.

Jika demikian, maka pasti kebahagiaan di dunia yang kita dambakan adalah kemuliaan yang kekal di dunia ini yang tentu akan berlanjut di akhirat nanti. Tak apalah hidup bersahaja asal terus diliputi rizki yang halal dan berkah dan dijauhkan dari rizki yang haram baik zat dan cara memperolehnya. Kalau toh kekayaan terkumpul, kebersahajaan akan mengantarkan langkah kakinya menuju kantong-kantong komunitas yang membutuhkannya. Kebersahajaannya akan menuntun tangannya untuk berbagi lebih banyak dan lebih banyak lagi.

Kesadaran demikian akan dan hanya akan muncul ketika ada ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya dan loyalitas kepada orang-orang yang beriman. Maka pada gilirannya izzah kemuliaan diri akan melekat pada dirinya. Tak ada rasa gentar menghadapi kekuatan fisik orang lain dan kekayaan materi orang lain. Karena dia yakin kemuliaan buka terletak pada kekuatan fisik dan materi itu, tapi pada keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.[4]

5. Al Ghalabah (Kemenangan)

Bentuk kebahagiann yang lain adalah kemenangan. Kemenangan tentu didambakan setiap orang. Ketika mengikuti lomba mewarnai seorang anak –atau orang tuanya- pasti ingin memenangkan lomba itu, apapun hadiahnya. Ketika bersekolah, menjadi siswa sepuluh besar menjadi kebahagiaan tersendiri. Olympiade Matematika, Fisika dan Biologi yang dimenangkan putra-putri bangsa, sangat membangkan pemerintah dan bangsa Indonesia. Kemenangan tim olah raga juga dielu-elukan para penggemarnya. Kemenangan dalam Pilkada juga membawa kebahagiaan partai dan pendukungnya.

Hanya saja sikap menerima kemenangan berbeda-beda. Sesuai dengan motivasi dan cara memperoleh kemenangan itu sendiri. Tak jarang pesta pora dirayakan. Sehingga melupakan hakekat siapa yang memberi kemenangan itu. Bahkan perayaan yang berlebihan justru mengangkatnya dalam singgasana kepercayaan diri yang berlebihan bahkan kesombongan. Tak sedikit yang justru terjerumus dalam kemaksiatan yang sangat disenangi syaitan. Jika ini yang terjadi, maka hakikatnya kita bukan memperoleh kemenangan itu, karena kita justru dikalahkan oleh nafsu syaitan itu. Maka kebahagiaan dalam euforia kemenangan itu hanya sesaat, setelah itu si pemenang akan terpuruk dalam lembah kehinaan.

Jika kita berkenan dengan kemenangan yang sebenarnya maka berarti kita mendapatkan kebahagiaan itu. Dan selayaknya kita tahu cara memperoleh kemenangan itu. Mari kita buka sejenak Al Quran kita. Bukalah surat Al Maidah: 56, maka kita akan memahami bagaimana Allah memberikan kemenangan yang sesungguhnya kepada kita.

Itulah resume kebahagiaan di dunia yang pasti kita dambakan.

(Bersambung)
Choirul Asyhar
http://islamunaa.blogspot.com
http://lintasankatahati.blogspot.com

[1] QS. Al Maidah : 54

[2] HR. Muslim dari Abu Hurairah

[3] QS. Asy-Syuraa : 52-53

[4] QS. Al Munaafiqun : 8